Thursday, December 08, 2005

"Mencari Tuhan"

Cogito ergo sum. I think, therefore I am. Saya berpikir, karena itu saya ada.

Manusia memang diberi kemampuan untuk berpikir. Kemampuan inilah yang membedakannya dari sebagian besar makhluk hidup lain, di luar binatang-binatang seperti lumba-lumba atau paus. Dan tentunya kita memang harus berpikir. Otak harus dilatih, supaya tidak tumpul.

Dalam perkembangannya, manusia seringkali menjadi terlalu banyak berpikir, dan logika menguasai segalanya. Segala sesuatu harus mengikuti aturan logika. Ya atau tidak. Benar atau salah. Hitam atau putih. Tidak ada abu-abu. Semua hal dipertanyakan. Dari yang paling sederhana, hingga (menurut saya) yang paling sulit: TUHAN. Apakah Tuhan itu ada? Kalau Tuhan itu ada, kenapa ada hal-hal yang (menurut pemikiran kita) tidak adil?

Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas sudah pernah dilontarkan oleh filsuf-filsuf Yunani. Sehingga akhirnya timbullah Filsafat dan Logika. Sebagai orang yang pernah kuliah di Unika Atma Jaya, Filsafat dan Logika adalah dua mata kuliah yang pernah saya ambil, karena wajib. Kedua mata kuliah ini menarik, karena memberikan sudut pandang yang berbeda dari pelajaran agama, dan bahkan, jika ditilik secara serius, akan bertentangan dengan agama, dan Tuhan.

Tema "Mencari Tuhan" sudah lama diangkat, baik secara serius maupun secara fiksi. Star Trek, misalnya, sudah paling tidak dua kali memunculkan "makhluk" dengan kekuatan setara Tuhan (terjemahan bebas dari "God-like powers").

Bagi penganut agama, tentu saja Tuhan itu ada. Kita percaya. Itu sudah cukup. Malah mungkin pertanyaan "Apakah Tuhan itu ada?" bisa dianggap sebagai sebuah dosa. Mempertanyakan Tuhan. "Why God, why?" Saya rasa hampir semua orang yang bisa berpikir pernah mempertanyakannya. Misalnya ketika mereka tertimpa malapetaka, atau kejadian-kejadian yang menurutnya tidak adil atau tidak sepantasnya mereka terima. Tapi dari agama yang diajarkan kepada kita, seharusnya ada jawaban untuk semua pertanyaan tersebut. Masalahnya, untuk orang-orang "pemikir" ini, jawaban yang diambil berdasarkan agama seringkali tidak memuaskan, karena tidak bisa dilihat atau disentuh, atau tidak sesuai dengan logika. Mereka kemudian akan terus mencari dan mencari.

Topik ini saya angkat karena seorang teman bercerita tentang pacarnya yang ternyata termasuk ke dalam golongan "Agnostik". Agnostik ini mirip dengan Atheis, tapi mereka kadang-kadang masih bisa menerima anggapa tentang adanya Tuhan.

Setelah mendengar ceritanya, mau tidak mau saya berpikir: Apakah saya terlalu menggantungkan diri? Terlalu pasrah? "Ah, kalau saya memang sial, mungkin ini cobaan dari Tuhan." "Oh, rejeki ini datangnya dari Tuhan." Sementara si pacar teman ini selalu mempertanyakan hal-hal yang paling sederhana sekali pun. Apakah artinya kemampuan berpikir dia lebih tinggi dari saya?

Ah, tidak. Buat saya, masih ada hal-hal lain yang lebih penting yang perlu dipikirkan, daripada membuang-buang waktu untuk mempertanyakan Tuhan. Kembali ke mata pelajaran Filsafat dan Logika yang pernah sama ambil di Atma Jaya, kedua mata pelajaran tersebut tidak membuat saya mempertanyakan Tuhan. Justru saya tertarik dengan pemikiran-pemikiran Plato dan kawan-kawannya.

Saya berpikir. Saya ada. Dan menurut saya, Tuhan tidak memberikan kemampuan kita berpikir untuk mempertanyakan keberadaanNya, melainkan untuk melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan di dunia ini, untuk kebaikan diri kita.

Itu pendapat saya. Pendapat orang lain bisa berbeda. Whatever I may desire.

No comments: